INDONESIA VS MALAYSIA

Posted by SWING ART PRODUCTION Sabtu, 24 November 2012 0 komentar

"Sesama Penyolong Jangan Saling Mendahului"
( INDONESIA VS MALAYSIA)



         Yapi Panda Abdiel Tambayong (Erjapi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado (lahir di Makasar Sulawesi Selatan 12 juli 1945 umur 65 tahun) adalah salah satu  sastrawan indonesia Ia memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redakturmajalahAktuil Bandung (sejak 1970), dosenAkademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan puisi mbeling.Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, drama, dan tahu banyak akan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
              Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli dibidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasarbuku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya

dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya diluar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.
            Remy Sylado pernah dan masih mengajar dibeberapa perguruan di Bandung dan Jakarta, seperti AkademiSinematografi, Institut Teater dan Film, Sekolah Tinggi Teologi.
Jangan Saling Mendahului

        Kompas ikut membikin ramai klaim-klaiman Indonesia terhadap Malaysia, mencantumkan judul lagu ”Terang Bulan” sebagai ciptaan orang Indonesia. Sebelumnya beberapa brodkas TV stel yakin mencocokkan lagu kebangsaan Malaysia ”Negaraku” dengan lagu ”Terang Bulan”. Malahan seseorang yang mengaku anak Sjaiful Bachri, pemusik Indonesia yang pernah ”lari” ke Malaysia, sebagai pencipta ”Terang Bulan”.     
        Salah satu, jika bukan satu-satunya media pers Indonesia pada 1957 yang memuat berita tentang ”Terang Bulan” menjadi lagu kebangsaan Malaysia adalah majalah Musika No 1 Th I September 1957. Majalah yang dipimpin Wienaktoe itu menurunkan berita berjudul ”Negaraku” sebagai berikut: ”Melodi lagu ’Terang Bulan’ jang kesohor itu achirnja dengan resmi diterima sebagai lagu kebangsaan Malaya pada hari kemerdekaan tanggal 31 Agustus 1957 j.l. dengan diberi nama dan tekst baru ’Negaraku’. Pihak RRI dan Pemerintah Indonesia untuk menjatakan penghargaannja, telah melarang diputar dan dimainkan atau diperdengarkan melodi tsb pada setiap kedjadian biasa”.
        Kalau kita membaca Het Nationale Volkslied oleh Margreet Fogteloo & Bert Wikie (AW Bruna Uitgevers BV Utrecht), jelas diuraikan bahwa ”Negaraku” yang dulu di Indonesia dikenal sebagai ”Terang Bulan” adalah ciptaan orang Perancis bernama Pierre Jean de Béranger (1780- 1857). Siapa sebenarnya orang ini? Ensiklopedia pertama yang terbit setelah Indonesia merdeka, Ensiklopedia Indonesia, 1954, oleh TS Mulia dan KAH Hidding mencatat nama Pierre Jean de Béranger sebagai pencipta sejumlah lagu rakyat (Pr chanson populaire, Ing. folk song, Bld, volkslied). Di antara ciptaannya yang terkenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Perancis di sini, Februari-Agustus 1811, sampai digegaskannya Bandung sebagai Parijs van Java, 1925, adalah Chansons morales et autres, Chansons nouvelles, Chansons inédites. Selama itu, pengaruh kebudayaan Perancis di Indonesia, jadi bukan di Malaysia, memang besar. Di Manado, yang sekarang disebut katrili, dan merupakan kesenian tradisional, berasal dari kata bahasa Perancis quadrille. Lalu, di Bandung, teater tradisional longser merupakan serapan kata bahasa Perancis, aba-aba seorang sutradara mengucapkan kata longer untuk bergerak lalu. Dan, jangan lupa kereta sado di Batavia berasal dari bahasa Perancis dos à dos, artinya duduk saling memunggung.
           Tetapi, di antara tokoh-tokoh seni Perancis yang pernah lama mukim di Indonesia, bukan Malaysia, adalah penyair terkemuka perkusor Simbolisme abad ke-19, Arthur Rimbaud. Pada 1876 penyair ini tinggal di Salatiga sebagai serdadu batalion I infanteri. Tentang dirinya di Salatiga bisa dibaca dalam Het Koninklijk Negerrlands-Indisch Leger 1830- 1950 oleh Zwitzer & Heshusius (Staatsuitvegerij ’s-Gravenhage).Salah seorang sahabat Rimbaud, René du Bois, bahkan menetap di lereng gunung Ungaran sampai tua, dan termasuk yang dikunjungi Mata Hari (Margareha Geertruide Zelle) sang ’polyglot harlot’ yang dieksekusi mati oleh otoritas Perancis pada Perang Dunia I sebagai mata-mata.
        Maunya, dengan sekelumit gambaran ini, jangan sampai gairah klaim-klaiman Indonesia terhadap Malaysia lantas melupakan peribahasa ”semut di eberang laut tampak gajah di depan mata tak tampak”. Sebab, kita juga punya kebiasaan nyolong.  Sebagai pembuka ingatan, perhatikan dua lagu yang dianggap memiliki pathos kebangsaan, yaitu lirik ”Dari barat sampai ke timur berjajar pulau-pulau”, dan ”Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati”. Yang pertama mengingatkan lagu Perancis ciptaan Rouget de Lisle. Memang hanya bagian depan, bagian yang sama dimanfaatkan Beatles juga.           
Tetapi yang kedua, ”Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati”, adalah 100% pencurian atas lagu gereja ”What a Friend We Have in Jesus”. Tidak tahu apa ilusi grup musik perempuan asal Surabaya, Dara Puspita, pada 1960-an menyanyikannya menjadi ”Ibu Pertiwi sedang bersusah”. Lagu himne ini aslinya diciptakan oleh Horatius Bonar pada lirik dan Charles Crozat Converse pada musik, dan dicatat hak ciptanya pada 1876 lewat Biglow & Main. Harapannya, dalam klaim- klaiman yang sedang panas sekarang ini, jangan pula melahirkan pemeo baru ”Sesama pencuri jangan saling mendahului”. Sebab, ujungnya kalau urusan marah-marah ini dibeberkan dengan kasus-kasus plagiat yang ternyata tidak sepi di Indonesia,  malunya harus         ditanggung bersama  .
 

 Sekadar contoh lain untuk mengingatkan itu, pada 1971 Markas Besar Angkatan Darat, ditandatangani oleh Brigjen Soerjadi, telah membuat malu memberi piagam kepada Ismail Marzuki sebagai komponis yang disebut mencipta lagu ”Auld Lang Syne”. Periksa Lagu-Lagu Pilihan Ismail Marzuki, oleh WS Suwito, Titik Terang, Jakarta. Tentu saja ini ngawur yang menyedihkan. Lagu ”Auld Lang Syne” itu nyanyian tradisional Skot yang digubah oleh Robert Burn dan dicatat penciptaannya melalui Preston & Son, London, 1799.
        Sebelum itu, Ismail Marzuki disebut juga sebagai pencipta lagu ”Als die orchideeën bleien” dan ”Panon Hideung”. Padahal, lagu yang pertama, yang kemudian berlirik bahasa Indonesia ”Bunga anggrek mulai timbul”, adalah ciptaan Belloni, pemimpin orkes Concordia Respavae Crescunt, yang dinyanyikan oleh Miss Lie pada 1922. Yang kedua, ”Panon Hideung” adalah lagu tradisional Rusia, diaransemen di Amerika oleh Harry Horlick & Gregory Stone dan masuk hak cipta pada 1926 di bawah Carl Fischer, Inc, lalu diperkenalkan di Indonesia, melalui Bandung pada tahun yang sama oleh pemusik Rusia bernama Varvolomeyev. Termasuk Presiden RI Soekarno, pada 1961 membuat kesalahan memberikan Piagam Widjajakusuma kepada Ismail Marzuki, yang menyebut dalam piagam itu bahwa lagu ”Hallo- hallo Bandung” adalah ciptaan Ismail Marzuki. Padahal, lagu itu aslinya ciptaan seorang prajurit Siliwangi bernama Lumban Tobing yang dinyanyikan bersama peleton Bataknya dari long march Yogya-Bandung di zaman revolusi.
              Tentang kematiannya bisa dilihat lukisannya di Museum Siliwangi, Jl Lembong, Bandung. Lagu ”Hallo-hallo Bandung” ciptaan Lumban Tobing ini hanya sama judul, tapi beda melodi dan lirik dengan lagu Belanda nyanyian Willy Derby pada 1929 ketika radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij) beroperasi di Bandung versi baru rekaman ini dinyanyikan lagi oleh Wieteke van Dort di TV Belanda dalam De Stratemakeropzeeshow, 1972, dan dicetak teksnya pada 1992 dalam De Wduwe van Indië. Nah, ”Terang Bulan” juga tersua dalam De Wduwe van Indië dalam dua teks, yaitu bahasa Indonesia gaya KNIL dan bahasa Belanda. Kita baca teks yang pertama saja: Terang boelan terang boelan di kali Boewaja timboel katanja lah mati Djangan pertjajan orang lelaki Brani soempa dia takoet mati,  Asal saja teks lama di atas tidak jadi ejekan kepada kita, Indon, sebagai ”brani soempa, dia takoet mati”. Kalau ada tuduhan begitu, rasanya elok diingat teriakan Bung Karno dulu, ”Ganyang Malaysia!” Remy Sylado Pengamat Musik, Novelis, Dramawan.(www.swing-art-production.blogspot.com)



TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: INDONESIA VS MALAYSIA
Ditulis oleh SWING ART PRODUCTION
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://swing-art-production.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_3808.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar